"SUGENG RAWUH DATENG PORO DULUR LAN BOLO....".

Laman

Minggu, 08 Januari 2017

Pengembangan Soal IPS SMP - Analisa Rasional Pilihan Ganda dengan Kolom Alasan



Selama ini telah kita ketahui bahwa penerapan soal-soal pilihan ganda pada semua mata pelajaran khususnya mata pelajaran IPS adalah tidak adanya keterpaduan dalam pembuatan soal. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan adanya soal-soal IPS yang tidak terpadu, dalam artian soal-soal IPS disajikan dengan cara setiap disiplin ilmu sosial berdiri sendiri-sendiri. Padahal pembelajaran IPS disebut terpadu karena adanya pengintegrasian antar disiplin ilmu-ilmu sosial dalam hal penyampaian materi dan struktur penyajian soal. Oleh karena itu, pengintegrasian disiplin ilmu-ilmu sosial juga harus diperhatikan dalam penyajian soal-soal kepada peserta didik, agar dalam proses kognitif masing-masing peserta didik dapat menemukan keterpaduan, kesinambungan, dan integrasi antar disiplin ilmu-ilmu sosial dalam materi pembelajaran yang telah dipelajari. Selain itu, penyajian soal-soal IPS juga masih bersifat behavioristik. Hal tersebut dapat dibuktikan adanya sajian-sajian soal IPS yang hanya menuntut siswa untuk mengingat, sehingga menjadikan tingkat kesadaran siswa masih dalam tahap kesadaran pra relektif (semu), belum mencapai kesadaran kritis. Dalam hal ini hanya menuntut siswa berfikir tingkat rendah.
Dalam pengembangan kurikulum 2013, peserta didik diajak untuk berkembang secara kognitif, dimana siswa harus mampu menganalisis dan mengevaluasi isi materi dan soal-soal yang telah diberikan. Oleh sebab itu, pengembangan soal-soal jenis pilihan ganda selain berisi studi terintegrasi antar disiplin ilmu-ilmu sosial, maka soal-soal pilihan ganda selayaknya harus disertai pengisian kolom alasan terkait pemilihan jawaban dalam soal pilihan ganda pada mata pelajaran IPS. Adanya kolom alasan dalam setiap nomor soal-soal pilihan ganda, maka peserta didik dengan kesadaran kritisnya akan mampu memberi alasan rasional memilih jawaban soal pilihan ganda. Maka dengan demikian, peserta didik terlatih dalam hal proses kognitif , dan dengan bekal kesadaran kritis akan mampu mengaktualisasikan diri dalam “Learning for Life”.
sebuah opini, oleh; robert tajuddin, mhs pscsrjn unesa prodi pend.ips.

Rabu, 04 Januari 2017

Tinjauan Kultural Masa Depan Kebudayaan Indonesia


Berawal dari tugas mata kuliah sejarah dan kehidupan manusia (diampu oleh Prof. Aminuddin K.), menjadi sebuah artikel blog. 
oleh; robert tajuddin
Artikel ini akan mecoba membuka paradigma dan realitas pelaku budaya Indonesia. Pelaku budaya Indonesia termasuk individu, kelompok, pemerintah, aparat, pemimpin, dan pendidik. Pelaku budaya menurut penulis sebagai pemegang penuh keutuhan budaya Indonesia sehingga secara bersama dapat menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Demi meneruskan tongkat estafet pemegang penuh keutuhan budaya Indonesia, generasi muda dipersiapkan sebagai penerus perjuangan menggapai tujuan berdirinya Negara Indonesia yakni “masyarakat adil dan makmur”.
Di masa awal berdirinya NKRI, terdapat GBHN yang disiapkan sebagai haluan negara tentang penyelenggaraan negara dalam garis-garis besar sebagai pernyataan kehendak rakyat secara menyeluruh dan terpadu. GBHN ditetapkan oleh MPR untuk jangka waktu 5 tahun. Dengan adanya Amendemen UUD 1945 dimana terjadi perubahan peran MPR dan presiden, GBHN tidak berlaku lagi. Sebagai gantinya, UU no. 25/2004 mengatur tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, yang menyatakan bahwa penjabaran dari tujuan dibentuknya Republik Indonesia seperti dimuat dalam Pembukaan UUD 1945, dituangkan dalam bentuk RPJP (Rencana Pembangunan Jangka Panjang). Skala waktu RPJP adalah 20 tahun, yang kemudian dijabarkan dalam RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah), yaitu perencanaan dengan skala waktu 5 tahun, yang memuat visi, misi dan program pembangunan dari presiden terpilih, dengan berpedoman pada RPJP. Di tingkat daerah, Pemda harus menyusun sendiri RPJP dan RPJM Daerah, dengan merujuk kepada RPJP Nasional.[1]
Namun secara realitas, ditengah strategi menyiapkan generasi muda untuk menyongsong masa depan Indonesia yang lebih baik, sering terjadi ketimpangan hampir di semua lini kehidupan bangsa. Ketimpangan berupa korupsi, kolusi, nepotisme, dan feodalisasi masih merajalela di semua sendi kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan pendidikan. Tidak ada salahnya jika melihat sebuah gagasan seorang Moechtar Loebis dalam buku naskah pidato 6 April 1977, di TMII Jakarta, berjudul “Manusia Indonesia”. Dalam “Manusia Indonesia”, Moechtar Loebis mendeskripsikan enam (6) ciri manusia Indonesia. Ciri pertama: munafik atau hiporkrit, ciri kedua: enggan dan segan bertanggung jawab, ciri ketiga: bersikap dan berperilaku feodal, ciri keempat: percaya pada takhayul, ciri kelima: artistik, dan ciri keenam: watak yang lemah.[2] Ciri-ciri manusia Indonesia seperti feodal, sungkan, percaya takhayul, dan watak yang lemah menurut penulis sangat wajar jika menilik sejarah panjang penjajahan di sepanjang nusantara.  Meskipun pra kolonialisasi bangsa Nusantara adalah bangsa maritim dan bangsa agraris yang maju seperti era kejayaan Sriwijaya, Mataram kuno, Singosari, Majapahit, Samudera Pasai, Demak, dan lain-lain, dan bangsa Indonesia terperangkap dalam jurang penjajahan yang menenggelamkan watak sejati bangsa yang kuat. Oleh karena itu, sangat wajar pula di era reformasi masih ada turunan kenegatifan watak jajahan. Maka menurut penulis perlu adanya perubahan mendasar untuk mengembalikan watak bangsa yang merdeka dan kuat.
Perubahan dimulai dari hal-hal yang kecil, dengan disertai kesadaran untuk berubah, karena kemauan berubah untuk menjadi lebih baih tanpa adanya kesadaran kritis hanyalah sebuah kemustahilan. Untuk merubah kesadaran semu (kesadaran tanpa kontrol) menjadi kesadaran kritis maka yang penulis anggap dapat menjadi alat ukur dapat mengubah manusia Indonesia sebagai pelaku keberlangsungan budaya Indonesia adalah pendidikan karakter. Pendidikan sendiri sejatinya mempunyai tujuan memanusiakan manusia. Dalam pendidikan karakter, terdapat proses membuka kesadaran kritis untuk melakukan hal-hal yang baik sehingga menjadi kebiasaan yang baik. Kebiasaan berperilaku baik akan menjadikan manusia berwatak baik. Berwatak baik sudah tentu berwatak kuat. Inilah pondasi masa depan budaya Indonesia.
Praktek pendidikan karakter tidak hanya dilakukan di bangku, halaman, dan lingkungan sekolah atau kantor, melainkan harus dipraktekkan ke dalam kehidupan skala rumah tangga, masyarakat sekitar, dimanapun dan pada siapapun. Maka dengan demikian akan tercipta karakter masyarakat Indonesia yang siap menyongsong kehidupan yang lebih baik. Mengenai peningkatan mutu pendidikan, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhammad Nuh, dalam salah satu sambutannya menyatakan bahwa aspek yang paling penting untuk fokus pada pendidikan dan kebudayaan adalah karakter seperti; 1. Penguatan kemampuan akademik dengan logika dan kejujuran; 2. Memupuk Nasionalisme; 3. Budidaya perawatan, toleransi, dan rasa hormat; 4. Menumbuhkan nilai-nilai demokrasi; dan 5. Menegakkan hukum. M.Nuh menambahkan bahwa dengan menerapkan semua unsur-unsur karakter dalam pendidikan, tahun 2045 bertepatan dengan 100 tahun kemerdekaan Indonesia, mimpi Indonesia yang lebih maju tidak lagi sebuah mimpi. Melainkan akan menjadi kenyataan.

DAFTAR PUSTAKA
Rokhman, F., Hum, M., & Syaifudin, A. (2014). Character Education For Golden Generation 2045 ( National Character Building for Indonesian Golden Years ). Procedia - Social and Behavioral Sciences, 141, 1161–1165. https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2014.05.197