Berawal dari tugas mata kuliah sejarah dan kehidupan manusia (diampu oleh Prof. Aminuddin K.), menjadi sebuah artikel blog.
oleh; robert tajuddin
Artikel
ini akan mecoba membuka paradigma dan realitas pelaku budaya Indonesia. Pelaku budaya
Indonesia termasuk individu, kelompok, pemerintah, aparat, pemimpin, dan
pendidik. Pelaku budaya menurut penulis sebagai pemegang penuh keutuhan budaya
Indonesia sehingga secara bersama dapat menjaga keutuhan Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Demi meneruskan tongkat estafet pemegang penuh keutuhan
budaya Indonesia, generasi muda dipersiapkan sebagai penerus perjuangan
menggapai tujuan berdirinya Negara Indonesia yakni “masyarakat adil dan makmur”.
Di
masa awal berdirinya NKRI, terdapat GBHN yang disiapkan sebagai haluan negara
tentang penyelenggaraan negara dalam garis-garis besar sebagai pernyataan
kehendak rakyat secara menyeluruh dan terpadu. GBHN ditetapkan oleh MPR untuk
jangka waktu 5 tahun. Dengan adanya Amendemen UUD 1945 dimana terjadi perubahan
peran MPR dan presiden, GBHN tidak berlaku lagi. Sebagai gantinya, UU no.
25/2004 mengatur tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, yang
menyatakan bahwa penjabaran dari tujuan dibentuknya Republik Indonesia seperti
dimuat dalam Pembukaan UUD 1945, dituangkan dalam bentuk RPJP (Rencana
Pembangunan Jangka Panjang). Skala waktu RPJP adalah 20 tahun, yang kemudian
dijabarkan dalam RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah), yaitu perencanaan
dengan skala waktu 5 tahun, yang memuat visi, misi dan program pembangunan dari
presiden terpilih, dengan berpedoman pada RPJP. Di tingkat daerah, Pemda harus
menyusun sendiri RPJP dan RPJM Daerah, dengan merujuk kepada RPJP Nasional.
Namun
secara realitas, ditengah strategi menyiapkan generasi muda untuk menyongsong
masa depan Indonesia yang lebih baik, sering terjadi ketimpangan hampir di
semua lini kehidupan bangsa. Ketimpangan berupa korupsi, kolusi, nepotisme, dan
feodalisasi masih merajalela di semua sendi kehidupan sosial, ekonomi, politik,
dan pendidikan. Tidak ada salahnya jika melihat sebuah gagasan seorang Moechtar
Loebis dalam buku naskah pidato 6 April 1977, di TMII Jakarta, berjudul “Manusia
Indonesia”. Dalam “Manusia Indonesia”, Moechtar Loebis mendeskripsikan enam (6)
ciri manusia Indonesia. Ciri pertama: munafik atau hiporkrit, ciri kedua:
enggan dan segan bertanggung jawab, ciri ketiga: bersikap dan berperilaku feodal,
ciri keempat: percaya pada takhayul, ciri kelima: artistik, dan ciri keenam: watak
yang lemah.
Ciri-ciri manusia Indonesia seperti feodal, sungkan, percaya takhayul, dan watak
yang lemah menurut penulis sangat wajar jika menilik sejarah panjang penjajahan
di sepanjang nusantara. Meskipun pra
kolonialisasi bangsa Nusantara adalah bangsa maritim dan bangsa agraris yang
maju seperti era kejayaan Sriwijaya, Mataram kuno, Singosari, Majapahit, Samudera
Pasai, Demak, dan lain-lain, dan bangsa Indonesia terperangkap dalam jurang
penjajahan yang menenggelamkan watak sejati bangsa yang kuat. Oleh karena itu,
sangat wajar pula di era reformasi masih ada turunan kenegatifan watak jajahan.
Maka menurut penulis perlu adanya perubahan mendasar untuk mengembalikan watak
bangsa yang merdeka dan kuat.
Perubahan
dimulai dari hal-hal yang kecil, dengan disertai kesadaran untuk berubah,
karena kemauan berubah untuk menjadi lebih baih tanpa adanya kesadaran kritis
hanyalah sebuah kemustahilan. Untuk merubah kesadaran semu (kesadaran
tanpa kontrol) menjadi kesadaran kritis maka yang penulis
anggap dapat menjadi alat ukur dapat mengubah manusia Indonesia sebagai pelaku
keberlangsungan budaya Indonesia adalah pendidikan karakter. Pendidikan sendiri
sejatinya mempunyai tujuan memanusiakan manusia. Dalam pendidikan karakter,
terdapat proses membuka kesadaran kritis untuk melakukan hal-hal yang baik
sehingga menjadi kebiasaan yang baik. Kebiasaan berperilaku baik akan
menjadikan manusia berwatak baik. Berwatak baik sudah tentu berwatak kuat. Inilah
pondasi masa depan budaya Indonesia.
Praktek
pendidikan karakter tidak hanya dilakukan di bangku, halaman, dan lingkungan sekolah
atau kantor, melainkan harus dipraktekkan ke dalam kehidupan skala rumah
tangga, masyarakat sekitar, dimanapun dan pada siapapun. Maka dengan demikian
akan tercipta karakter masyarakat Indonesia yang siap menyongsong kehidupan
yang lebih baik. Mengenai peningkatan mutu pendidikan, mantan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan, Muhammad Nuh, dalam salah satu sambutannya menyatakan
bahwa aspek yang paling penting untuk fokus pada pendidikan dan kebudayaan
adalah karakter seperti; 1. Penguatan kemampuan akademik dengan logika dan
kejujuran; 2. Memupuk Nasionalisme; 3. Budidaya perawatan, toleransi, dan rasa
hormat; 4. Menumbuhkan nilai-nilai demokrasi; dan 5. Menegakkan hukum. M.Nuh
menambahkan bahwa dengan menerapkan semua unsur-unsur karakter dalam
pendidikan, tahun 2045 bertepatan dengan 100 tahun kemerdekaan Indonesia, mimpi
Indonesia yang lebih maju tidak lagi sebuah mimpi. Melainkan akan menjadi
kenyataan.
DAFTAR
PUSTAKA
Rokhman, F., Hum, M., & Syaifudin, A. (2014).
Character Education For Golden Generation 2045 ( National Character Building
for Indonesian Golden Years ). Procedia - Social and Behavioral Sciences,
141, 1161–1165. https://doi.org/10.1016/j.sbspro.2014.05.197