"SUGENG RAWUH DATENG PORO DULUR LAN BOLO....".

Laman

Rabu, 07 Juli 2021

Sistem Sosial Kemasyarakatan ala Islam: Kedudukan Manusia Sama di Hadapan Allah SWT.

Oke, mulai masuk ke sistem ya, haduh-haduh. Tenang ojo digawe ngelu disek, hahaha.. Gini lur. Melihat sistem sosial kemasyarakatan yang ada, kita tahu ada berbagai macam hal berkaitan dengan itu. Kita tau tho, ada strata sosial biasanya dari tingkat ekonomi hingga hubungan biologis atau keturunan, maupun komunitas atau relasi, dan lain-lain. Jadi golongan masyarakat itu biasanya dilihat dari mergawe opo, penghasilane piro, keturunan atau anake sopo, bisa juga tentang relasi kelompok (kancane sopo, dan gumbulane sopo, dan lain sebagainya). Ada pejabat atau pemerintah hingga penguasa, pegawai, aparat-aparatur, golongan pendapatan atas-tengah-bawah, hingga hubungan dengan siapa (kancane sopo), dan lain-lain. 

Nah, kita coba sambil mengingat ke sejarah Islam berkaitan dengan sistem sosial kemasyarakatan yang ada itu idealnya seperti apa. Di zaman Kanjeng Nabi Muhammad SAW pernah ada kesepakatan bersama antara Islam dengan komunitas Yahudi, Nasrani, masyarakat dengan kepercayaan lokal dan lain sebagainya dalam bingkai Piagam Madinah. Kanjeng Nabi Muhammad berhasil menyatukan carut-marut, meluruskan kembali benang yang kusut dan mbulet, melegakan dahaga perdamaian-ketentraman-kerjasama. Jadi Piagam Madinah itu isinya sebuah kesepakatan para warga muslim dan non-muslim di Madinah adalah satu bangsa. Masyarakat Yahudi, Nasrani, dan lainnya dilindungi dari segala bentuk penistaan dan gangguan. Sehingga dari kesepakatan Piagam Madinah tercipta sebuah kontrak sosial untuk menjadi bangsa yang integral (satu kesatuan), saling melindungi, saling bekerjasama tentu untuk kebaikan bersama, dan tidak homo homini lupus (menjadi serigala pemangsa bagi sesama atau lainnya). Gitu ndes.. 

Ya itu satu contoh kasus aja sih berkaitan dengan dengan sistem sosial dan kemasyarakatan dalam Islam itu semuanya ideal (btw contoh kasus lainnya buanyak, golekono dewe ae, hahaha). Buktinya ya tadi, perlu adanya kesepakatan bersama untuk kebaikan bersama. Mengenai kelompok-kelompok sosial masing-masing tetap bisa menjalankan aktivitas profan dan sakralnya sendiri-sendiri. 

Kowe mergawe opo, hasil e piro (akeh utowo sitik), kowe anak e sopo, pengaruhmu gede utowo cilik, kancamu sopo wae, sing penting laku uripmu apik. Kan enak, coro Islam iki sistem opo wae iso melbu, kanan-kiri oke, jalan tengah yo masuk, sepanjang menggunakan pertimbangan yang baik, humanis, ramah lingkungan, pokok e membawa aspek manfaat yang maslahat. Intine pedomane jelas, kedudukan manusia itu sama dihadapan Allah SWT. Ngono lho rek.. Sip ya..!!!

Pengetahuan: Wahyu Pertama - Iqro'

Iqro'. Ya, itu. Jika kita membaca atau mendengar kata ~iqro'~, dalam benak dan pikiran kita wabil khusus ummat Islam mungkin di Nusantara atau dimanapun berada yang pernah tau aja atau pengalaman mengaji Iqro', langsung terbayang dengan jenjang mengaji Al Qur'an dan Ilmu Tajwid (ilmu cara membaca Al Qur'an dengan tartil) tingkat dasar. Nah, sebetulnya berhubungan dengan mengaji Iqro' yang merupakan jenjang mengaji Al Qur'an dan Tajwid tingkat dasar, kata ~iqro'~ sendiri memiliki arti "bacalah". Nah, berarti kata "bacalah" tersebut berhubungan dengan kata baca, membaca, belajar, sinau, mengerti, memahami, hingga seterusnya mungkin pada sampai tataran mengembangkan, evaluasi, dan seterusnya. Kita harus tahu juga kata ~iqro'~ itu merupakan wahyu pertama kali Gusti Allah SWT kepada Kanjeng Nabi Muhammad SAW lho. Ada dalam Al Qur'an ayat pertama Surah Al'alaq, bunyinya gimana? Ya jelas lho, ~iqro'~. Hemm mantap. 

Jadi dari awal kali Kanjeng Nabi Muhammad diangkat menjadi Rosul itu diperintahkan oleh Allah SWT untuk membaca guys. Kita semua tau bahwa membaca itu bisa dikatakan gerbang pertama untuk belajar. Kita belajar tentunya bukan untuk terpuruk, melainkan untuk menjadi lebih baik. Ada kalimat legend lho, "Membaca Membuka Jendela Dunia". Membaca arahnya pasti belajar, mengerti, atau memahami. Dari membaca, kita tau tujuan. Tujuan hidup, tujuan mencari kebahagiaan, dan tujuan baik lainnya. 

Kembali lagi dengan fungsi membaca/belajar untuk menjadi lebih baik. Jika kita mempelajari tokoh-tokoh di seluruh dunia berhasil dalam kiprahnya itu berawal dari membaca/belajar. Sebagai contoh tentang tokoh-tokoh yang berhasil dalam kiprah dan pengaruhnya ada Kanjeng Nabi Muhammad dengan Islamnya, Sayyidina Umar yang masyhur dengan kepemimpinannya yang sangat adil, Sayyidina Ali yang dijuluki oleh Kanjeng Nabi sebagai gerbangnya Ilmu, Ibnu Battutah dan Ibnu Rusyd yang berhasil berkeliling dunia dengan beragam catatan perjalanannya, Ibnu Khaldun yang merupakan Bapak Ilmu Sosial, Ibnu Sina sang ahli medis dan filusuf yang dijuluki Bapak Kedokteran Modern, Sultan Harun Al Rasyid yang terkenal bijaksana melalui cerita Seribu Satu Malam, Shalahuddin Al Ayyubi Sang Singa Padang Pasir yang ahli dalam strategi militer. 

Lha tokoh Indonesia-ne endi? Hoiyo ojo kuwatir. Di Indonesia ada Mbah Yai Hasyim Asy'ari dengan organisasi Nahdlatul 'Ulama dan KH. Ahmad Dahlan dengan Organisasi Muhammadiyah dimana kedua pengaruh organisasi tersebut dari jaman Belanda hingga Jaman Sosial Media masih selalu eksis dan pengaruhnya sangat besar dalam berbagai hal. Bahkan sejarah perkembangan modernitas dunia dengan segala hingar-bingarnya ini salah satu yang memberikan sumbangsih utama adalah umat Muslim. Itupun masih sebagian kecil tokoh Muslim yang saya ingat. Artinya apa, tidak mungkin keberhasilan tokoh-tokoh tersebut dalam kiprahnya tak lepas dari pintu gerbang utama kemajuan, yakni membaca/belajar. Para tokoh tersebut senantiasa belajar, mencoba, berkembang, maju, membuat sejarah, dan memberika kebaikan. Itu semua berawal dari belajar, iqro'/membaca. 

Nah, kan sudah dikatakan di awal tadi bahwa  kata "Iqro' - bacalah" berhubungan dengan kata baca, membaca, belajar, sinau, mengerti, memahami, hingga seterusnya mungkin pada sampai tataran mengembangkan, evaluasi, dan seterusnya hingga pada proses yang lebih baik. Dalam Islam tuntunan kelanjutan dari membaca itu ada juga. Opo jajal? Nhaa.. Kita sudah diberi challenge/tantangan, tuntutan, sekaligus perintah dari Gusti Allah SWT melalui ayat "afalaa tubshiruun - apakah kamu tidak melihat?", "afalaa ta'qiluun - apakah kamu tidak menggunakan akal?", dan "afalaa tatafakkaruun - apakah kamu tidak berfikir". Guys, itu jelas dari kata melihat, kita itu diajak dan ditantang oleh Gusti Alloh untuk membaca-mempelajari apa yang kita lihat, lalu kita gunakan akal kita untuk berfikir. Berfikir untuk kebaikan, untuk maju, untuk bahagia dan meberikan keindahan. 

Umat Islam sebetulnya jika mau membaca sejarah di masa lalunya, banyak sekali torehan prestasi yang telah dicapai dan dari membaca sejarah kejayaan Islam di masa lalu itu bisa digunakan untuk semangat maju lebik baik di masa kini. Mulane tho, ojo males sinau, ojo males belajar, iso-o moco keadaan. Aku iling Dawuh Cak Nun yang berkorelasi dengan tulisanku iki kiro-kiro ngene, "membaca kebenaran, melakukan kebaikan, membagikan keindahan". Dadi opo wae apik, terus belajar, terus berkembang lebih baik dari sebelumnya, berlaku baik, dan menciptakan keindahan. Ojo lali disamping perintah "Iqro' - bacalah/membaca/belajar", ada kalimat "bismi Robbikalladzii kholaq - dengan menyebut Tuhan penciptamu". Kira-kira artinya selalu hadirkan kebesaran Gusti Allah SWT dalam proses hidupmu, agar proses yang kita lalui selalu dapat kita ambil hikmahnya dengan baik, sehingga selalu dalam keindahan rahmahNya. Wallahu a'lamu bisshowabe'.