"SUGENG RAWUH DATENG PORO DULUR LAN BOLO....".

Laman

Senin, 09 November 2015

Dulu, Sekarang, (Siapa) yang Pahlawan?


Oleh; Robert Tajuddin
            Ketika kita membicarakan Hari Pahlawan, dalam pikiran kita pasti terbesit Hari Pahlawan 10 November. Ya! Tak bisa dipungkiri memang, pada tanggal tersebut Bangsa Indonesia terkenang dan mampu belajar tentang semangat kepahlawanan, semangat keindonesian, heroisme, patriotisme, hingga nasionalisme. Semangat tersebut dikobarkan arek-arek Suroboyo di tahun-tahun awal revolusi fisik berjalan. Arek-arek Suroboyo dengan semangat nasionalisme dan didukung dengan jiwa “bonek”nya, mempertahankan NKRI yang didatangi kembali oleh Sekutu dengan memilih jalan “perlawanan fisik” dalam mengamankan kemerdekaan Republik yang baru seumur jagung. Meskipun minim persediaan senjata, namun semangat dan totalias arek-arek Suroboyo tanpa batas. Oleh karena itu Peristiwa 10 November 1945 di Surabaya dikenang sebagai hari pahlawan yang biasa diperingati pada tanggal 10 November.
            Ketika mengenang hari pahlawan, ada pertanyaan tentang siapa saja yang berkontribusi dalam pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Seperti apa saja profesi pejuang, dan bagaimana tingkat ekonomi mereka? Apakah kaya? Miskin? Pelajar? Santri? Guru? Ustadz? Kyai? Dokter? Petani? Sipil? Militer? Dan mari kita telaah bersama. Kita lihat dari kalimat “Perjuangan Arek-arek Suroboyo pada 10 November 1945”. Kata “Arek” sama dengan “Rakyat”. Maka “Arek-arek” berarti “Rakyat-rakyat” atau “seluruh Rakyat”.  Arek-arek atau rakyat-rakyat sendiri secara ekonomis, menunjukkan berbagai macam profesi. Tidak hanya militer, tapi juga sipil. Tidak hanya kaya, tapi juga miskin. Nah, ini yang perlu kita cermati dan mari kita tata pemikiran kita bahwa yang berjuang mempertahankan kemerdekaan  di Indonesia ini adalah seluruh rakyat Indonesia, dari berbagai lapisan. Bukan dari satu golongan.
            Dalam konteks kekinian, peringatan hari pahlawan dalam “bentuk kostum kepahlawanan” selalu dimanifestasikan dalam bentuk kemiliteran. Kita bisa lihat parade karnaval yang biasa diadakan oleh sekolah-sekolah di Surabaya misalnya, dapat dipastikan itu karnaval berkostum tentara, atau polisi. Dan jarang sekali kita lihat karnaval yang kaya kostum sepeti guru, dokter, kyai, santri, hingga petani. Tak dapat dipungkiri pula, prajurit-prajurit militer Indonesia memang banyak memberikan kontribusinya dalam mempertahankan kedaulatan NKRI era revolusi. Namun tak dapat dibantah juga bahwa rakyat dari kalangan sipil juga sangat banyak berkontribusi dalam mempertahankan kedaulatan NKRI kita dari dulu hingga sekarang. Oleh karena itu, bentuk peringatan hari pahlawan yang dimanifestasikan ke dalam bentuk kostum, “bukan” hanya kostum militer, tapi juga berbagai kalangan rakyat sipil. Sejarah perjuangan rakyat Indonesia memang sangat luas, kita sebagai pemuda, maupun golongan tua harus mampu melihat sejarah  secara obyektif agar tidak buta sejarah. Mengingat “Sang Proklamator” kita yakni Presiden Soekarno pernah berpesan, “Jangan sekali-sekali melupakan sejarah” atau dalam singkatannya yakni “JAS MERAH”. Lalu bagaimana sikap kita sebagai rakyat yang arif dalam melihat sejarah dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sekarang, seperti peringatan hari pahlawan? Hanya diri kita sendiri yang bisa menjawab.


                                                            Penulis adalah alumni Jurusan S1 Pendidikan Sejarah - UNESA

Sabtu, 14 Maret 2015

Pak Tani Buruh*

Dekil pakaianmu,
Hitam legam aura kulitmu,
Memikul cangkul bak pahlawan siap perang,
Semangatmu menggelora tak takut dilibas sang waktu.

Tangan-kakimu mengeras bagai hag sepatu,
Bukti keras baktimu pada keluarga-anak-dan istri,
Tak lupa juga bukti pengabdiammu untuk tanah airmu,
Ya! Untuk rakyat Indonesia tercinta.

Bayanganmu akan sanak keluarga,
Kau jadikan api pembakar smangat jiwamu,
Ah! Persetan itu sawah siapa kau cangkul, milik kapitalis? kau tak peduli.
Harapan perut anak-istri selalu terisi, jadi pilihan jalanmu.

Kau pun tak hiraukan apa balas jasa negara kepadamu,
Entah pendidikan anakmu yang mahal,
Dan harga bensin yang tak berkawan,
Kau lupakan itu sejenak, tanda pasrahmu pada himpitan zaman yang semakin sakit. Kau tak menyerah!

Kulihat sekitarmu pak tani,
Pemuda desa putus harapan,
Kurus berkawan lumpur, tanda semakin kelam arus yang kalian lalui,
Pun anak-anak kecil yang masih ceria dan tak tau kehidupan mereka kelak.

Ku terharu kagum denganmu pak tani,
Semangat juangmu dalam tindihan zaman,
Kata yang terngiang dalam benakku selalu,
Kau terus bekerja keras karena CINTA dan kau slalu ingin menghasilkan, CINTA...!!!

Ku masih ingat cerita guruku dulu,
Tentang Negriku Indonesia yang kaya,
Rakyat yang makmur dan alam yang melimpah,
Ku trus berdoa agar Negriku saat ini menjadi seperti cerita guruku dulu.

Dan, Jangan pernah menyerah buruh tani,
akan hakmu sebagai abdi negara!
Wahai para penguasa, jika kau manusia yang humanis,
hargailah mereka dg memberi mereka kesempatan!

                                                     Rbrt

*Puisi ini pernah dibacakan di pendopo Kecamatan Trowulan - Mojokerto sekitar Agustus 2014 saat penutupan KKN Mahasiswa Universitas Negeri Surabaya angkatan 2011