"SUGENG RAWUH DATENG PORO DULUR LAN BOLO....".

Laman

Minggu, 19 Mei 2024

Cara Baru Melawan Penjajahan di Indonesia Awal Abad 20

    Hari ini tepat pada hari Senin yang sebagian orang mengawali hari pertama kerja di setiap pekannya. Ada yang menjalani dengan optimis, malas atau "ngempet ngantuk" di pagi hari karena saat hari minggu kemarin bisa "mbangkong", dan berbicara rasa memang macam-macam rupanya. Namun ketika kita sadar hari ini tanggal 20 Mei 2024, bangsa Indonesia mengingatnya sebagai Hari Kebangkitan Nasional. 20 Mei 1908 merupakan momen di Indonesia karena pada waktu itu berdiri organisasi pergerakan nasional periode awal di Indonesia, yakni Budi Utomo. Eksistensi Budi Utomo dipandang sebagai sebagai motor baru penggerak perlawanan terhadap penjajahan yang masih kuat di bumi pertiwi. Sezaman organisasi lain di masanya seperti Sarekat Islam, Sarekat Prijaji, dan Muhammadiyah melawan penindasan penjajah dengan cara baru, yakni melalui pendidikan modern yang mencerahkan anak bangsa, menggunakan organisasi yang mewadahi rakyat berkumpul dan berserikat, surat kabar sebagai corong suara perjuangan rakyat, bergabung dengan parlemen, bahkan pemogokan buruh dari yang lunak hingga keras. Yusuf Perdana dan Rinaldo Adi Pratama (2022) menuliskan dalam karyanya Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia, era pergerakan nasional yang terjadi pada kurun waktu 1908- 1945 ditandai oleh mulai sadarnya penduduk Bumi putera atau yang sering disebut sebagai kaum terpelajar pada masa pemerintahan kolonial Belanda yang tengah menjalankan politik etis (irigasi, edukasi dan emigrasi). Kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah kolonial Belanda ini ternyata jauh dari harapan, yang sebelumnya bertujuan untuk memajukan dan meningkatkan taraf hidup masyarakat Indonesia, akan tetapi praktik yang terjadi sendiri dalam pelaksanaan pendidikan lebih banyak bertujuan untuk kepentingan kolonial Belanda itu sendiri, serta untuk pengembangan modal kaum pengusaha dan kaum kapitalis asing yang semakin banyak ditanamkan di Indonesia pada saat itu. Salah satu tujuan politik etis di bidang pendidikan sendiri adalah mencetak tenaga-tenaga dari bumi putera dengan harga yang lebih murah, ketimbang belanda mengambil tenaga dari eropa sendiri. Pergerakan nasional Indonesia dalam melawan kolonialisme Belanda terjadi setelah melahirkan rekonstruksi sejarah yang ingin mengatakan bahwa secara historis Indonesia dan Belanda pada prinsipnya adalah sejajar. 

    Sejenak mengingat ke masa sebelum abad ke 20, perlawanan bangsa Indonesia didominasi oleh perlawanan fisik dibawah tokoh yang kharismatik seperti raja, ulama, atau bangsawan. Solidaritas lokal yang tinggi dengan kegigihan pasukan tempur yang bagaikan "otot kawat balung wesi", dan terbukti berbagai perlawanan fisik terhadap penjajahan bangsa Eropa sebelum abad ke 20 banyak merugikan pihak penjajah. Salah satu perlawanan paling heroik sebelum abad 20 hingga merugikan Belanda adalah perlawanan Pangeran Diponegoro 1925-1930 yang menyebabkan uang kas Hindia Belanda habis bahkan defisit hingga hutang menumpuk, sehingga pemerintah membuat kebijakan dengan praktik buldozer yakni Cultuure Stelsel atau Tanam Paksa yang sangat merugikan rakyat namun sangat menguntungkan pihak Belanda setelah mengalahkan perlawanan Pangeran Diponegoro. Berlangsungnya kebijakan Tanam Paksa diam-diam disorot tajam oleh asisten residen Lebak yakni Edward Douwes Dekker dengan menuliskan karya Max Havelaar yang viral di Belanda. Viralnya karya Multatuli (nama samaran Edward Douwes Dekker kala itu) hingga pada awal tahun 1900-an membuat Belanda membuat kebijakan khusus untuk wilayah jajahannya yakni pengairan lahan, pemerataan penduduk, dan pendidikan (modern ala eropa). Poin terakhir yakni pendidikan berupa akses belajar untuk rakyat walapun ada pembedaan antara kaum ningrat serta blasteran dibandingkan kaum jelata, pelaksanaan pendidikan untuk rakyat jelas memberikan aroma baru bagi bangsa Indonesia sehingga menjadi spirit dan ide baru pula dalam memperjuangkan kemerdekaan rakyat dibawah pimpinan kaum terpelajar. Hal ini dikarenakan perlawanan fisik yang tetap penuh heroik pada periode sebelumnya terbukti tidak membawa hasil akhir yang baik bagi rakyat Indonesia. 

    Ayo kita ingat lagi bahwa kita dikuasai oleh bangsa Eropa oleh karena kelemahan rakyat Nusantara sekitar abad pertengahan, yakni mau diadu domba. Kala itu rakyat Nusantara dapat dengan mudah diadu domba oleh karena perbedaan yang tidak mau didamaikan, dapat disimpulkan perbedaan yang menjadi kekayaan khas Nusantara ini menjadi senjata makan tuan, perbedaan yang seharusnya kekayaan menjadi rusak oleh karena perang saudara. Sehingga dapat diartikan kala itu rakyat nusantara dikuasai oleh bangsa Eropa oleh karena para penjajah pandai memanfaatkan kesempatan yang dapat melemahkan kita, yakni adu domba. Padahal perbedaan pikiran atau fisik menjadi kekayaan Nusantara sejak dulu kala lho. Nah, kembali ke perjuangan bangsa Indonesia di awal abad ke 20 yang menggunakan cara baru yakni menggunakan organisasi yang mewadahi rakyat berkumpul dan berserikat, surat kabar sebagai corong suara perjuangan rakyat, bergabung dengan parlemen, bahkan pemogokan buruh dari yang lunak hingga keras. Jika kita mengetahui cara baru melawan penjajah tersebut, sebenarnya hal itu tidak asing di Eropa, termasuk wabil khusus di wilayah kerajaan Belanda. Gerakan protes untuk menyuarakan kehendak rakyat sudah berlangsung sejak lama di Eropa, dan yang paling terkenal adalah Revolusi Perancis yang berhasil menggulingkan kuatnya pengaruh kaum konservatif. Artinya, kita pernah dikuasai penjajah oleh sebab faktor kita-nya sendiri, namun awal abad ke 20 kita menyerang dengan caranya mereka (Eropa). Ini dapat diambil pelajaran bahwa kekuatan atau kekayaan seminim apapun perlu dijaga, dan belajar atau eksplorasi pengalaman sebanyak-banyaknya akan menambah semangat kita untuk kuat, maju, dan berkembang. 

Selamat memperingati Hari Kebangkitan Nasional, Jayalah Indonesiaku!