Oleh;
Robert Tajuddin
Ketika kita membicarakan Hari
Pahlawan, dalam pikiran kita pasti terbesit Hari Pahlawan 10 November. Ya! Tak
bisa dipungkiri memang, pada tanggal tersebut Bangsa Indonesia terkenang dan
mampu belajar tentang semangat kepahlawanan, semangat keindonesian, heroisme,
patriotisme, hingga nasionalisme. Semangat tersebut dikobarkan arek-arek
Suroboyo di tahun-tahun awal revolusi fisik berjalan. Arek-arek Suroboyo dengan
semangat nasionalisme dan didukung dengan jiwa “bonek”nya, mempertahankan NKRI
yang didatangi kembali oleh Sekutu dengan memilih jalan “perlawanan fisik”
dalam mengamankan kemerdekaan Republik yang baru seumur jagung. Meskipun minim
persediaan senjata, namun semangat dan totalias arek-arek Suroboyo tanpa batas.
Oleh karena itu Peristiwa 10 November 1945 di Surabaya dikenang sebagai hari
pahlawan yang biasa diperingati pada tanggal 10 November.
Ketika mengenang hari pahlawan, ada
pertanyaan tentang siapa saja yang berkontribusi dalam pertempuran 10 November
1945 di Surabaya. Seperti apa saja profesi pejuang, dan bagaimana tingkat
ekonomi mereka? Apakah kaya? Miskin? Pelajar? Santri? Guru? Ustadz? Kyai?
Dokter? Petani? Sipil? Militer? Dan mari kita telaah bersama. Kita lihat dari
kalimat “Perjuangan Arek-arek Suroboyo pada 10 November 1945”. Kata “Arek” sama
dengan “Rakyat”. Maka “Arek-arek” berarti “Rakyat-rakyat” atau “seluruh
Rakyat”. Arek-arek atau rakyat-rakyat
sendiri secara ekonomis, menunjukkan berbagai macam profesi. Tidak hanya militer,
tapi juga sipil. Tidak hanya kaya, tapi juga miskin. Nah, ini yang perlu kita
cermati dan mari kita tata pemikiran kita bahwa yang berjuang mempertahankan
kemerdekaan di Indonesia ini adalah
seluruh rakyat Indonesia, dari berbagai lapisan. Bukan dari satu golongan.
Dalam konteks kekinian, peringatan
hari pahlawan dalam “bentuk kostum kepahlawanan” selalu dimanifestasikan dalam
bentuk kemiliteran. Kita bisa lihat parade karnaval yang biasa diadakan oleh
sekolah-sekolah di Surabaya misalnya, dapat dipastikan itu karnaval berkostum
tentara, atau polisi. Dan jarang sekali kita lihat karnaval yang kaya kostum
sepeti guru, dokter, kyai, santri, hingga petani. Tak dapat dipungkiri pula,
prajurit-prajurit militer Indonesia memang banyak memberikan kontribusinya
dalam mempertahankan kedaulatan NKRI era revolusi. Namun tak dapat dibantah
juga bahwa rakyat dari kalangan sipil juga sangat banyak berkontribusi dalam
mempertahankan kedaulatan NKRI kita dari dulu hingga sekarang. Oleh karena itu,
bentuk peringatan hari pahlawan yang dimanifestasikan ke dalam bentuk kostum,
“bukan” hanya kostum militer, tapi juga berbagai kalangan rakyat sipil. Sejarah
perjuangan rakyat Indonesia memang sangat luas, kita sebagai pemuda, maupun
golongan tua harus mampu melihat sejarah
secara obyektif agar tidak buta sejarah. Mengingat “Sang Proklamator”
kita yakni Presiden Soekarno pernah berpesan, “Jangan sekali-sekali melupakan
sejarah” atau dalam singkatannya yakni “JAS MERAH”. Lalu bagaimana sikap kita
sebagai rakyat yang arif dalam melihat sejarah dan mengaplikasikannya dalam
kehidupan sekarang, seperti peringatan hari pahlawan? Hanya diri kita sendiri
yang bisa menjawab.
Penulis adalah alumni Jurusan S1 Pendidikan Sejarah - UNESA